Mereka yang hidup di daerah kota kecil (pinggiran) sudah sangat akrab dengan pemberitaan bentrok antar perguruan silat. Sampai tertanam dalam bawah sadar bahwa mereka yang berkonflik pasti tak jauh dari organisasi silat.
Semua informasi itu tak hanya diperoleh dari media yang memberitakan melainkan dari gosip antar warga. Walaupun anggotanya dijuluki pendekar silat, tapi cara mereka berkelahi di jalanan sama persis dengan tawuran antar sekolah di Jakarta.
Awalnya filosofi dari silat itu sendiri cukup mendamaikan hati, dimana orang yang kuat haruslah melindungi dan mengayomi yang lemah. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bukan berlatih secara pribadi untuk memperkuat diri (kualitas), mereka lebih senang bergerombol untuk menjadi kuat dengan mengandalkan jumlah (kuantitas).
Secara psikologi, orang lemah cenderung suka bergerombol untuk menutupi kelemahan itu, kelompok itu ada demi mereka yang ingin terlihat kuat. Apalagi kebanyakan dari anggotanya hanya anak-anak puber berusia belasan tahun dimana otak mereka belum mampu untuk berpikir konsekuensi atas tindakannya.
Statistik Bentrokan Perguruan Silat
Kota Madiun sebagai kota dengan ikon pencak silat menjadi tempat yang paling banyak melahirkan organisasi persilatan. Tak heran kalau Madiun dan sekitarnya sering menjadi arena pertarungan jalanan antar perguruan.
Dilihat dari statistik, konflik antar perguruan ini sudah ratusan kali terjadi dalam setahun, tampaknya mereka memang suka adu lempar batu. Berikut ini jumlah konflik antar organisasi silat di Jawa Timur pada tahun 2020 – 2022:
- PSHT – PN sebanyak 164 kali
- PSHT – IKSPI sebanyak 94 kali
- IKSPI – Masyarakat sebanyak 36 kali
- PSHT – PSHW sebanyak 33 kali
- PN – Masyarakat sebanyak 21 kali
- PN – IKSPI sebanyak 20 kali
- PSHT – PSHT sebanyak 8 kali
- PSHW – Masyarakat sebanyak 5 kali
- PN – PSHW sebanyak 3 kali
- PSHW – IKSPI sebanyak 1 kali
Bahkan Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Farid Makruf mengungkapkan selama kurun waktu 2021 hingga 2023 terjadi sekitar 400 konflik antar perguruan silat di Jatim. Data itu jauh melebihi jumlah tawuran antar pelajar se-Jakarta.
Bagaimana mungkin ada 200-an konflik dalam setahun? Itu sama saja dengan tiap dua hari sekali mereka tawuran, apa yang bisa menjelaskan itu selain “hobi” mereka memang anarkis?!
Bahkan hobi ini pernah merambah ke kancah internasional dimana pendekar silat Indonesia bentrok di negara Taiwan sampai menghilangkan nyawa seseorang.
Betapa ironisnya disaat pendekar yang seharusnya menjaga kerukunan justru menjadi penyebab dari kekerasan dan perpecahan itu sendiri?
Benar bahwa banyak perguruan bela diri memiliki filosofi yang menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan. Namun, dalam kenyataannya, masih terjadi bentrokan antar perguruan di Indonesia.
Maraknya pertikaian ini sudah banyak dibicarakan oleh netizen Indonesia dimana perguruan silat sudah dianggap sebagai “gerombolan preman” denagn seragam perguruan. Stigma ini adalah akibat dari perilaku para pendekar yang semena-mena di jalanan, sering anarkis dan sebagainya.
Pemberitaan ini sudah viral di media digital, seperti piercemeup.com tapi seakan para pelakunya tak mendapat konsekuensi semestinya, tentu lepasnya mereka dari jerat hukum membuat arogansi kian meninggi.
Akar Masalah
Masalah besar kerap dipicu oleh masalah sepele, begitu juga dengan tawuran antar perguruan. Hanya karena saling ejek, tidak terima digeber atau bahkan hanya berpapasan di jalan saat beda seragam saja bisa memantik pertarungan jalanan.
Mereka sering berlindung dengan filosofi persaudaraan yang dianutnya, misalnya “satu orang yang disakiti maka yang lain ikut merasakan sakit“. Hal ini yang memicu masalah perseorangan menjadi bentrokan antar perguruan.
Jika kita menggunakan logika terbalik dari filosofi tersebut, maka “satu orang yang bersalah, yang lain ikut bertanggung jawab“, dengan begitu tawuran tidak akan terjadi.
Sayangnya para pendekar ini hanya memakai filosofi (quotes) yang menguntungkan mereka saja. Ini berkesinambungan dengan minimnya kemampuan berpikir anggotanya yang didominasi usia belia.
Pengetahuan yang minim membuat seseorang cenderung menggunakan ototnya (kekerasan) sebagai output dari suatu masalah. Contohnya, seseorang yang tersinggung mempunyai dua pilihan untuk marah dan tidak marah, kemampuan berpikir mereka akan menentukan hasil dari ketersinggungan tersebut.
Silat itu seni bela diri, namanya saja bela diri maka sudah pasti hanya digunakan karena merasa terancam, bukan malah mengancam orang lain.
Aturan yang Dilanggar Perguruan Silat
Setiap kali ada acara “wisuda” dimana orang yang bergabung telah resmi dilantik sebagai anggota perguruan mereka akan konvoi beramai-ramai, jumlahnya ratusan orang.
Momen seperti ini sangat rawan terjadi konflik dimana para anak muda yang sedang bergembira merasa berkuasa atas jalan dan wilayah yang mereka lalui.
Sudah tertanam dalam benak masyarakat jika perguruan sudah konvoi bergerombol maka hal buruk akan terjadi. Warga menjadi takut ke luar rumah dan beraktivitas di sekitar mereka.
Bentrokan antar perguruan silat dapat melanggar beberapa aturan dan norma baik dari perspektif hukum maupun etika.
Kota Madiun yang menjadi ikon pencak silat mempunyai basis angota perguruan terbanyak di Indonesia hal ini sejalan dengan jumlah tawuran yang terjadi di daerah tersebut.
Semua konflik ini sudah jelas menyalahi peraturan perundang-undangan, UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 9 ayat 2 tentang HAM dimana “Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin“. Dalam Pasal 30 juga menyatakan“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.
Jelas konflik yang terjadi antar perguruan ini melanggar Undang-undang yang berlaku walaupun dalam melakukan kegiatan acara yang sudah memperoleh izin dari pihak Kepolisian dan Pemerintah, karena konflik yang terjadi menimbulkan rasa tidak tentram, keamanan setiap orang merasa terancam, dan tidak merasa damai. Masyarakat juga merasa takut untuk melakukan aktifitas diluar rumah.
Itu baru peraturan berupa hak masyarakat sekitar, belum lagi pelanggaran yang dilakukan oleh mereka ketika kericuhan terjadi. Sudah pasti melanggar pasal tindak kekerasan sampai penghilangan nyawa seseorang.
Untuk mencegah terjadinya tawuran antar perguruan silat, perngurus perguruan bersama Kepolisian Resort, khususnya Kota Madiun mengambil langkah-langkah preventif dan represif. Langkah-langkah ini bertujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat Kota Madiun.
Upaya preventif dilakukan untuk mengurangi dan mencegah potensi konflik antar anggota perguruan. Pihak terkait bersama Kepolisian Kota Madiun terus melakukan berbagai tindakan penanggulangan untuk mencegah konflik yang dapat terjadi. Tujuannya adalah agar konflik tidak lagi bersifat sporadis dan tidak menyebar luas ke berbagai daerah, terutama daerah-daerah yang rawan terjadi konflik.
Semoga saja pencak silat mampu kembali ke jalan yang benar sesuai dengan visi misi pendirinya. Layaknya agama, tak ada organisasi yang ingin menciptakan keonaran. Sebagai pendekar, setelah mampu melindungi diri sendiri maka sudah sepatutnya menjaga orang lain yang lebih lemah darinya. Simak kabar berita terbaru seputar Indonesia di piercemeup.com.