Stigma Lama Belum Hilang: Pesantren Sebagai Bengkel Anak Nakal

Waktu kecil saya pikir pondok pesantren itu tempatnya para alim ulama belajar ilmu agama. Tempat santri ngaji, hafalan, dan tidur berderet kayak ikan sarden di lantai beralas tikar. Tapi setelah dewasa dan lebih sering nongkrong di warung kopi pinggir jalan, saya baru sadar: banyak orang yang melihat pondok pesantren sebagai “bengkel anak nakal.”

Iya, bengkel. Tempat “servis total” anak-anak yang dianggap rusak moralnya. Yang suka bolos, merokok, main game, bahkan tawuran. Dikirim ke pondok dengan harapan mereka pulang jadi ustaz.

Kalau bisa sih, pas pulang langsung bisa ceramah di masjid sambil pakai sarung dan peci putih.

“Mondok Saja Biar Jadi Baik”

Sudah jadi kalimat sejuta umat:

“Nakmu kok tambah bandel? Mondokne wae. Biar tobat.”

Ini bukan kalimat baru. Bahkan beberapa tokoh, termasuk Wapres RI, pernah menyatakan bahwa anak-anak yang susah diatur bisa dimasukkan ke pesantren sebagai solusi pembinaan.

Berita tentang gibran

Secara ide, ini nggak sepenuhnya salah. Pondok pesantren memang punya sistem disiplin dan lingkungan keagamaan yang cukup kuat. Tapi kalau semua anak nakal dikirim ke sana, dan niatnya hanya “menitipkan” tanpa proses pembinaan dari keluarga juga, maka pondok bisa berubah jadi tempat penampungan, bukan pendidikan.

Ketika Jumlah Anak Bermasalah Melebihi Anak Baik

Ilustrasi anak tawuran

Sekarang bayangkan begini. Pondok yang awalnya dihuni oleh anak-anak yang memang ingin belajar agama, tiba-tiba dipenuhi oleh mereka yang “terpaksa” dikirim karena dianggap nakal.

Apa yang terjadi?

Alih-alih jadi tempat penyucian, pesantren bisa berubah jadi ladang eksperimen kenakalan versi santri.

Ada yang ngumpet main ponsel tengah malam, barter jajan ilegal lewat pagar, sampai prank mengisi air kran wudu pakai deterjen.

Lama-lama, anak-anak yang awalnya baik malah ikut-ikutan. Bukan karena mereka ingin nakal, tapi karena lingkungan membuat mereka merasa: “Oh, ini wajar ya?”

Ketika yang buruk lebih dominan, maka yang baik bisa kalah dalam pergaulan.

Kenapa Stigma Ini Bisa Muncul?

Pertama, karena sebagian orang tua menganggap pondok sebagai solusi instan, bukan sebagai tempat pendidikan yang membutuhkan kerja sama antara guru, pengasuh, dan keluarga.
Kedua, karena ada anggapan bahwa dengan memasukkan anak ke pondok, tanggung jawab pendidikan otomatis berpindah total ke pesantren.

Padahal kenyataannya, pendidikan karakter adalah proyek jangka panjang. Tidak bisa cuma diserahkan mentah-mentah ke kyai atau ustaz.

Dan ketiga, karena sebagian masyarakat hanya melihat hasil akhir, tanpa memahami proses di dalam pesantren. Kalau ada santri keluar dan tetap nakal, maka yang disalahkan pondoknya. Tapi kalau berubah jadi baik, maka orang tua langsung klaim, “Lihat tuh anak saya! Alhamdulillah jadi ustaz!”

Banyak yang Serius Mendidik

Untungnya, tidak semua pesantren hanya menjadi tempat “penitipan”. Banyak sekali pesantren yang sungguh-sungguh dalam mendidik, bukan hanya mengaji, tapi juga membangun akhlak dan jiwa mandiri para santri. Salah satunya seperti yang bisa kamu lihat di https://ikhwatulmukminin.ponpes.id/, di mana konsep pendidikan berbasis nilai-nilai Islam diterapkan secara menyeluruh, dari ruang kelas sampai dapur umum.

Pondok seperti ikhwatulmukminin.ponpes.id ini adalah contoh bahwa pesantren bisa menjadi tempat pembinaan karakter yang ideal, asal niatnya juga benar dari rumah. Tidak sekadar buang anak ke pesantren, lalu berharap mukjizat turun dari langit.

Apakah Pondok Sama dengan Sekolah Formal?

Di pondok pesantren, fokus utama biasanya adalah ilmu agama (diniyah). Tapi banyak juga pesantren modern yang menggabungkan kurikulum sekolah formal dan bahkan keterampilan hidup (life skills).

Aspek Sekolah Formal Pesantren
Fokus Ilmu umum Ilmu agama (dan kadang umum juga)
Gaya belajar Kelas, buku, ujian Kitab, halaqah, praktik
Pembinaan karakter Terbatas Sangat intensif, 24 jam dibina
Kehidupan Pagi-siang (pulang) Tinggal di asrama, 24 jam
Religiusitas Umumnya netral Religius sangat kuat

Jangan Salah Menitipkan, Jangan Salah Niat

Mungkin memang ada anak yang berubah total setelah mondok. Tapi jangan lupa, banyak juga anak yang tambah rusak kalau lingkungannya salah. Pesantren itu bukan tempat sulap. Ustaz bukan dukun. Kalau dari rumah sudah diberi stigma, “Kamu tuh bandel, makanya dimasukin pondok!”, maka si anak akan tumbuh dengan rasa malu dan pemberontakan dalam hati.

Akhirnya apa? Dia jadi tidak ikhlas belajar. Hanya menjalani hari dengan harapan segera lulus dan kabur.

Daripada terus menaruh harapan bahwa pondok akan “memperbaiki” anak kita yang nakal, kenapa tidak mulai dari memperbaiki pola pikir kita sendiri?
Bantu anak kita mencintai proses belajar di pondok. Dampingi mereka. Jangan cuma setor uang SPP dan berharap hasilnya kayak servis motor bulanan.

Karena pada akhirnya, anak-anak bukan barang rusak yang bisa dibetulkan dalam semalam. Mereka manusia. Butuh dipahami, bukan cuma dibuang ke pondok karena kita sudah kehabisan akal.

Jika kamu ingin mengirim anak ke pondok, pastikan kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan. Jangan jadikan pesantren sebagai “tempat darurat”, tapi sebagai rumah pendidikan sejati — yang dijaga bersama-sama antara keluarga, guru, dan tentu saja… anak-anak kita sendiri.